SANANA – Perusahan PT. mangole timber producer (Mangtip) yang dberoperasi di desa falabisahaya kecamatan mangoli utara kabupaten kepulauan sula (Kepsul), diduga kuat “tipu” masyarakat pemilik lahan yang dijadikan sentral operasi perusahan PT.Mangtip tersebut.
Kenapa tidak, pada tahun 1970 PT.Mangtip hak pengusahaan hutan (HPH) di kepulauan sula provinsi maluku utara (Malut) untuk kepentingan kegiatan usaha PT.Mangtip membutuhkan lahan (tanah) untuk tempat penampung balok-balok kayu (log pond) dan pelabuhan muatan kayu.
Sehingga PT.Mangtip berkewajiban melakukan ganti rugi tanaman-tanaman kelapa diatas tanah milik masyarakat desa leko sula dusun falabisahaya (Saat ini sudah menjadi desa definitif falabisahaya).
Melalui perjanjian ganti rugi PT.Mangtip berkewajiban membayar pohon kelapa dengan harga Rp 500 rupiah sampai Rp 5000 rupiah per pohon, tergantung umur kelapa, sehingga pemilik kelapa melepaskan hak milik pohon kelapanya untuk ditebang habis agar tanah kebun kelapa itu dapat dipergunakan PT.Mangtip sebagai tempat pengumpulan kayu (log pond).
Ternyata secara diam-diam terjadi perubahan status hak tanah milik adat beralih menjadi hak guna bangunan (HGB) yang tidak diketahui sama sekali oleh pemilik tanah yang pohon kelapanya diganti rugi untuk ditebang. Mirisnya, memasuki tahun 1980 tanah milik adat yang tadinya untuk kepentingan penampungan kayu (log pond) beralih fungsi menjadi camp bangunan perumahan pegawai dan pabrik kayu lapis.
Kemudian, tahun 1983 status tanah milik masyarakat adat tersebut diubah status menjadi HGB tanpa ganti rugi tanah dan tanpa ada perjanjian dengan pelepasan hak dari hak milik menjadi HGB dengan akta authentik berdasarkan undang-undang agraria.
“PT.Mangtip mestinya sadar bahwa ada perjanjian di tahun 70an yang sudah disepakati, kami masyarakat mangoli utara tidak pernah menjual tanah kepada pihak perusahaan, lantas kenapa pihak PT.Mangtip mengklaim dengan mengunakan nama Barito Pasific Timber Grup bahwa seluruh tanah di desa falabisahaya adalah milik perusahaan,” kata Aktivis kecamatan mangoli utara, Raski Soamole, Rabu (15/11/2023).
Mantan presiden badan eksekutif mahasiswa (BEM) STAI babussalam sula maluku uatara itu menegaskan, PT.Mangtip mestinya sadar bahwa ketika melakukan penebangan hutan pasti ada yang namanya reboisasi. Namun anehnya, PT.Mangtip mengklaim seluruh hutan adalah bekas perusahan PT.Mangtip tersebut.
Sementara, masyarakat desa falabisahaya bertahun-tahun membayar pajak pembangunan semenjak perusahan barito angkat kaki dari desa falabisahaya. “Pemda dan DPRD diduga turut membackup segala bentuk kegiatan PT.Mangtip, sekalipun itu tidak sesuai prosedur, bahkan PT.Mangtip diduga melakukan penyerobotan lahan bermodus membuka lapangan kerja,” ucpanya. (att/)