SANANA – Pelabuhan Fery Waikolopa, Kabupaten Kepulauan Sula (Kepsul) saat ini memiliki fungsi ganda. Selain memiliki fungsi utama sebagai dermaga kapal ferry, juga sebagai tempat pemuatan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium, solar dan minyak tanah (Mitan).
Hal ini sangat rawan bagi manusia (penumpang, red) yang menggunakan kapal ferry sebagai moda transportasi. Sebab, BBM jenis premium ini mudah terjadi musibah.
Efek buruk lain dari BBM jenis premium ini bisa hingga kematian, jika secara terus menerus terpapar bau bensin maka bisa merusak otak, jantung, paru-paru, sistem imun, hati dan ginjal secara bertingkat. Apabila terpapar dalam waktu lama, efek yang ditimbulkan bisa berbahaya hingga kematian.
Padahal, pelabuhan ferry Waikolopa, tidak memiliki izin pemuatan BBM dari Pemkab Kepsul. Sayangnya, petugas lapangan dari dinas perhubungan (Dishub) Kepsul lebih mementingkan retribusi (uang, red) dibandingkan keselamatan manusia.
Salah satu kasusnya, adalah saat petugas pelabuhan ferry mengizinkan kapal BBM milik salah satu pengusaha asal Pulau Taliabu melakukan kegiatan pemuatan BBM jenis premium, solar dan minyak tanah pada, Rabu (7/7/2021).
Koordinator Lapangan (Korlap) Dinas Perhubungan (Dishub) yang bertugas di Pelabuhan Fery Waikolopa, Rahman Gailea saat ditemui Habartimur.com, Rabu (7/7/2021) mengaku, bahwa pengusaha asal Taliabu tersebut tidak memiliki izin pemuatan BBM di pelabuhan ferry. Namun, pihak kapal mengaku memiliki izin dari syahbandar.
“Kapal yang angkut minyak ini tidak ada izin pemuatan dari Pemkab, sedangkan minyak mau di bawa di Pulau Mangoli dan Taliabu. Memang tidak memiliki izin pemuatan di pelabuhan Fery, akan tetapi pemilik wajib membayar jasa pelabuhan Rp 40 ribu per jam. Kita dapat dari kapal Rp 40 ribu per jam,” tuturnya.
Lebih lanjut, Rahman menyebutkan kendati kapal angkutan BBM tidak mendapat izin pemuatan dari pengelola ferry, akan tetapi pihak pemilik kapal memiliki izin pemuatan dan izin bungker dari pihak Syahbandar Kepulauan Sula.
“Kapal-kapal ini memiliki izin dari pihak syahbandar. Jadi misalnya terjadi musibah pada kapal maka Syahbandar yang bertanggung jawab, bukan Pemda Sula. Untuk hasil dari kapal Rp 40 per jam menambah PAD Dishub,” tegas Rahman. (att)